MAKALAH PENDIDIKAN
Selasa, 18 November 2014
Minggu, 16 November 2014
EVALUASI PENDIDIKAN SECARA NASIONAL
OLEH : ARIFA RAKHMAN
PASCA SARJANA UNIGA MALANG 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Penyertaan pendidikan
dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas diperlukan. Stimulasi dan
penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang sedang membangun ternyata
memberikan hasil yang memuaskan di dalam mengatasi persoalan-persoalan dan
hajat hidup orang banyak, baik di bidang perbaikan sistem politik, sosial
ekonomi, maupun sosial budaya (Burhanuddin Salam, 1997: 172).
Tidak dapat disangkal
lagi tentang besarnya arti pendidikan sebagai faktor universal yang mutlak ada
dan harus diperhatikan secara khusus. Tidak berlebihan jika posisi pendidikan
seharusnya dijadikan sebagai ”public good”.Di Indonesia sudah seharusnya
pendidikan diprioritaskan pengembangannya. Jika mencermati sudut politik will pemerintah, gagasan untuk
itu telah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan.
Ujung
tombak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan pendidikan, akhirnya
berpulang pada makhluk yang bernama guru. Gurulah yang akan melaksanakan secara
operasional segala bentuk pola, gerak, dan geliatnya perubahan kurikulum
tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai model pembelajaran yang berkaitan
dengan kurikulum sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam
melaksanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikan sebagai bagian
dari perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan juga pada
komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba
tersebut.
Sampai saat ini
kurikulum yang diterapkan di Indonesia masih sangat labil perubahan kurikulum
berlangsung begitu cepat. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang di terapkan, belum
semua tenaga pendidik dan kependidikan memahami dan mampu melaksanakan
kurikulum tersebut sudah muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
kemudian di susul dengan Kurikulum 2013. Jika dicermati secara teoritis
semuanya memiliki keunggulan, semuanya serba bagus, tidak ada argumentasi yang
negatif. Persoalannya sesungguhnya adalah apakah sudah siap untuk melaksanakan
semua itu, dengan kondisi pendidikan seperti ini. Kurikulum mempunyai kedudukan
sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk
aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. (Yatim Riyanto,
2006: 9).
Menurut Mauritz Johnson
(dalam Yatim Riyanto, 2006: 9) kurikulum ”prescribes (or at least anticipates)
the result of instruction”. Melihat peran yang begitu besar dari para guru,
dengan perubahan kurikulum yang begitu cepat, lalu timbul pertanyaan: apakah
guru-guru di Indonesia memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu? Apakah
guru-guru tersebut mempunyai kualitas professional kearah itu ? Selain itu,
secara professional apakah guru-guru memiliki kemauan dan komitmen dalam upaya perbaikan
kurikulum ini ? Yang menjadi kekhawatiran dan kegalauan kita adalah dari sekian
guru yang jumlahnya jutaan tersebut, apakah persentase terbesar dari mereka itu
lebih mengarah pada kualitas yang kurang
memadai ? Secara kuantitas,
cukupkah jumlah guru sekarang ini dan apakah mereka tersebar secara merata di
seluruh Indonesia.
Pada era globalisasi
ini, baik yang mencakup aspek ekonomi, budaya, politik, pendidikan atau aspek
sosial sekalipun akan memberikan kemungkinan yang sangat terbuka bagi siapa
saja untuk turut bersaing di setiap negara peserta. Persaingan bebas seperti
ini menuntut kesiapan setiap negara secara optimal bila ingin tetap bisa
berperan serta. Dalam kondisi yang demikian itu, tidak ada jalan lain yang
harus dilakukan oleh sebuah negara yaitu melaksanakan atau mereformasi sistem
perekonomian, sistem perdagangan, sistem produksi, sistem pendidikan, atau sistem
pembinaan sumberdaya manusianya yang sesuai dengan tuntutan era pasar bebas
tersebut. Jika negara tidak mengindahkan hal tersebut, produk barang atau
jasanya tidak memiliki daya saing yang memadai. Dengan demikian para investor
dan atau para buyers tersebut tidak
akan pernah berkehendak untuk tertarik dengan produk barang atau jasa negara
tersebut.
Era
globalisaasi merupakan suatu kondisi yang memperlihatkan dunia ini sudah
semakin mengecil. Kita tidak akan bisa lagi menyembunyikan kebobrokan atau
keadaan yang buruk dari suatu negara. Hal itu kemungkinan terjadi berkat
kemajuan teknik informatika. Kejadian apapun yang dialami oleh suatu negara,
dalam waktu singkat akan diketahui oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam
waktu yang relatif singkat berita baik atau buruk di suatu negara telah mengglobal.
(Sam M. Chan, & Tuti T Sam. 2013; 139). Di dalam kontek informatisasi, dunia ini sudah
menjadi satu, tidak ada lagi kotak-kotak yang membatasi wilayah satu dengan
lainnya. Azahari (2000 : 79) menyebutnya dengan istilah “Dunia adalah satu
tempat yang tunggal tanpa batas (borderless world and only one earth)”.
Dengan
demikian, kemajuan dan keterbelakangan suatu negara menjadi demikian
transparan. Hal ini berimplikasi pada implementasi proses-proses global,
seperti proses humanisasi dan proses demokratisasi. (Tilaar, 2001:4). Sektor
pendidikan yang menjadi tulang punggung penting dalam membina dan mengembangkan
sumber daya manusia (SDM), perlu mengambil langkah-langkah konkret dalam
menghadapi kecendrungan global tersebut. Guru sebagai pasukan paling depan
dalam mencetak sumber daya manusia memikul beban yang tidak ringan dengan kondisi
dan tantangan saat ini, seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama.
1.2.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung
tombak pencetak SDM di era globalisasi ?
2.
Bagaimana kualitas dan kuantitas guru yang
ada di era globalisasi ?
3.
Bagaimana mutu guru yang ideal diera
globalisasi ?
4.
Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan
di Indonesia ?
1.3. Tujuan
1.
Untuk mengetahui kesejahteraan guru
sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi.
2.
Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas
guru yang ada di era globalisasi.
3.
Untuk mengetahui mutu guru yang ideal
diera globalisasi.
4.
Untuk mencarikan solusi mengatasi persoalan
pendidikan di Indonesia.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Kesejahteran
Guru di Era Globalisasi
Guru adalah salah satu
komponen manusiawi dalam proses pembelajaran, yang ikut berperan dalam usaha
pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh
karena itu guru merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus
berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga
profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam
arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung
jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan
tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai ”pengajar” yang
transfer of knowldge, tetapi juga sebagai ”pendidik” yang transfer of values
dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa
dalam belajar. Berkenaan dengan ini maka sebenarnya guru memiliki peranan yang
unik dan sangat kompleks di dalam pembelajaran, dalam usahanya untuk
mengantarkan siswa ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana
kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi
kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya. (Sardiman,
2006: 123).
Untuk dapat melakukan
peranan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya, guru memerlukan
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat inilah yang akan membedakan antara guru
dari manusia-manusia lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat bagi guru itu
adalah pesyaratan administratif, persyaratan teknis, pesyaratan psikis, dan
persyaratan fisik. Sesuai dengan tugas keprofesiannya, maka guru memiliki
persyaratan sebagai berikut, memiliki kemampuan profesional, memiliki kapasitas
intelektual, memiliki sifat edukasi sosial. (Sardiman, 2006: 124).
Sesuai dengan
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan Desember
2005 guru lagi-lagi dibebani dengan persyaratan terbaru yaitu ”sertifikasi”
walaupun sampai saat ini belum dilaksanakan secara keseluruhan, tetapi cukup
menjadi beban psikologis dikalangan para guru.
Memperhatikan tuntutan profesionalisme seorang guru yang tidak ringan, pertanyaan akan muncul dibenak kita apa imbalan yang akan dijanjikan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa ini ? Gaji guru saat ini, untuk golongan tertinggi saja hanya kurang lebih Rp. 2.400.000,- itu pun dengan masa kerja puluhan tahun.(Sam M. Chan dkk., 2006: 56). Lebih jauh dijelaskan bahwa bagaimana gaji guru yang hanya berada di tingkat bawah ? Dari hasil wawancara dengan guru-guru SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk biaya hidup selama kurang belih 10 hari pada setiap bulannya. Lantas ke mana mereka mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga ?
Memperhatikan tuntutan profesionalisme seorang guru yang tidak ringan, pertanyaan akan muncul dibenak kita apa imbalan yang akan dijanjikan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa ini ? Gaji guru saat ini, untuk golongan tertinggi saja hanya kurang lebih Rp. 2.400.000,- itu pun dengan masa kerja puluhan tahun.(Sam M. Chan dkk., 2006: 56). Lebih jauh dijelaskan bahwa bagaimana gaji guru yang hanya berada di tingkat bawah ? Dari hasil wawancara dengan guru-guru SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk biaya hidup selama kurang belih 10 hari pada setiap bulannya. Lantas ke mana mereka mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga ?
Fenomena seperti ini
tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi yang dipandang sebagai ”orang
suci” harus mengais-ngais mencari tambahan lain bagi pemenuhan kebutuhan
keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah menaikkan gaji guru, baik berita
maupun baru keinginan, harga-harga telah melambung tinggi mendahului kenaikan
sesungguhnya yang masih saja tetap tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek
berita kenaikkan gaji yang menyodok meningkatnya kenaikan harga. Alhasil,
kadang-kadang justru dengan kenaikan gajinya, kesejateraan guru bukan semakin
membaik malah semakin memburuk.
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadang-kadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, ” Tak apalah, yang penting halal.”
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadang-kadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, ” Tak apalah, yang penting halal.”
Masih beruntung Negara
dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan tingkat kesejahteraan rendah,
para gurunya hanya bergelut di koridor pekerjaan ”yang penting halal”.
Bagaimana seandainya para guru yang akibat himpitan ekonomi mulai melirik dan
mengambil pekerjaan sampingan yang berlabel ”yang penting saya bekerja” tanpa
mengindahklan nilai-nilai moral ? Bukankah hal ini bisa saja terjadi ?
2.2.
Penyebaran Jumlah dan Mutu Guru
Masalah kualitas dan
kuantitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis. Secara objektif
jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat dipukul
rata begitu saja karena ternyata jumlah yang sedikit ini salah satu
indikatornya adalah masalah pemerataan guru. Idealnya dalam satu sekolah,
katakanlah SD, enam orang guru kelas, dua guru bidang studi, satu kepala
sekolah, dan satu pesuruh, Paling tidak sepuluh orang. Kebanyakan di pedesaan,
jumlah guru sekolah hanya ada sekitar 3-4 orang. Bahkan ada yang satu guru untuk
satu sekolah, juga pesuruh. Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan
prasarananya bagus, terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dapat dijumpai 11-14
orang guru, termasuk diantaranya kepala sekolah. ( Sam M. Chan & Tuti T.
Sam, 2013: 57). Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan ke pejabat Dins Dikpora
hal itu dikatakan logis karena SD yang disebutkan tadi merupakan SD inti
sehingga pengajarnya per bidang studi. Tentu saja jawaban tersebut sebagai
pembenaran atas kebijakan mutasi guru yang lebih pada politik uang.
Oleh karena itu, sampai
saat ini sekolah yang maju diperkotaan dapat terus bertahan dengan kemajuannya,
sementara sekolah yang kekurangan guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolasi
dan semakin terpuruk/menurun kualitasnya.
Posisi guru memang amat
rentan. Dari segi kuantitas yang amat dilematis (ada banyak sekolah yang
kekurangan guru sementara ada sekolah yang kelebihan guru) jika digeneralisasi
atau dipersentase memang masih banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah
mengeluarkan kebijakan akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran
2003/2004. Setelah dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak
menjadi hampir tiga kali lipat dari alterntif lain yang tidak menjadi perhatian
pemerintah. Ternyata amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai
panglima di negeri ini.
Belum lagi berbicara
mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki posisi strategis dalam usaha
tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik amat dituntut kemampuan
profesionalnya. Skill dan kemampuan
profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM yang
mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti. (Prima MD Nuwa,
Merdeka, 19 Juli 1995 dalam Sam M. Chan & Tuti T. Sam, 2013: 58).
Dilihat dari
kesejateraan guru, bagaimana seorang guru dapat konsentrasi/fokus/serius dalam
mengajar. Belum lagi masalah pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi hak
guru, pada kenyataannya di lapangan jika ada kegiatan-kegiatan yang berupaya
meningkatkan skill dan profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan
biaya. Akhirnya, guru enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan
SDM guru karena harus mengeluarkan/menyisihkan gajinya yang memang sudah amat
kecil tersebut.
Peningkatan dan
menambahan kualitas dan kuantitas guru adalah adanya niat baik pemerintah pusat
untuk dapat melakukan pemerataan jumlah guru dengan sistem ”guru kontrak”dan
mengadakan perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi. Hal ini
merupakan good will dari pemerintah
terhadap dunia pendidikan.
Hal lain, bagi
peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan dalam penciptaan SDM yang
bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih berkualitas adalah dengan
dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN. Kesadaran yang cukup
tinggi dari para tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini
dengan pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian
wakil-wakil rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih
serius pada dunia pendidikan, juga merupakan salah satu komponen yang ikut
menentukan terwujudnya kualitas dan kuantitas guru di Indonesia ke depan.
Persoalan yang
kemungkinan muncul akibat penambahan jumlah guru melalui sistem kontrak masalah
kualitas guru yang dikontrak. Artinya guru kontrak bisa saja merupakan guru
kagetan, asal-asalan. Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat
dibandingkan membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.
Berdasarkan pada
realitas di lapangan mengenai kualitas dan kuantitas guru, ditinjau dari jumlah
guru secara keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru.
Namun jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi
di daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan
memadai.
Oleh karena itu, pemerintah
harus membuat terobosan dalam membangun. Artinya, harus ada pemerataan dibidang
pembangunan. Hal ini barangkali dapat diatasi dengan adanya UU mengenai otonomi
daerah. Di samping itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, juga harus membuat
program menstimulus lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah-daerah
terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau
mengabdikan dirinya bagi daerah/desa yang masuk kata gori terpencil sehingga
ada semacam ukuran cost dan benefit bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan
sosial.
Pemerintah tidak perlu
ragu dalam memberi umpan demi terjadi pemerataan, pendidikan yang bermutu.
Kalau dulu guru dapat menolak ditempatkan di daerah terpencil karena yang
terbayang padanya hidupnya akan susah dengan keterbatasan fasilitas sarana dan
prasarana. Belum lagi gaji yang terlambat datang. Diharapkan kini dengan adanya
kebijakan yang antisipatif yang sebesar-besarnya memperhatikan kesejahteraan
guru plus tawaran konpensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan
berpikir dua kali untuk menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.
Mengenai kualitas guru,
memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka
menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill/kemampuan yang tinggi.
Pemerintah tidak perlu ragu untuk mengalokasikan dana bagi meningkatan kualitas
guru karena tidak dapat disangkal lagi bahwa guru merupakan ujung tombak bagi
keberhasilan dunia pendidikan. Apalagi kita sadari bersama bahwa indikasi dari
carut marutnya/chaos-nya kondisi di Indonesia saat ini salah satunya adalah
karena kegagalan pendidikan mencetak pemimpin negara yang andal, yang moralis,
dan berbudi luhur. (Sam M. Chan & Tuti T. Sam 2013: 62).
2.3.
Guru
Yang Ideal Di Era Globalisasi
Pada dasarnya peluang
untuk membuat guru di Indonesia profesional dalam bidangnya itu ada.Tinggal
bagaimana (political will) pemerintah
melaksanakannya. Hal ini telah didukung dengan adanya kebijakan pemerintah
menaikkan anggaran pendidiakan sebesar 20% dari APBN. Kalau ini benar-benar
dinomorsatukan dan dilaksanakan tanpa harus menunggu pengalokasian bidang lain,
diharapkan pembinaan guru dapat ditingkatkan melalui anggaran tersebut. Budaya top down untuk hal-hal yang positif pun
tidak ada salahnya. Sebagai contoh, pemerintah pusat menginginkan adanya
pembinaan guru-guru untuk meningkatkan skill agar lebih profesional dan
bermutu. Di tingkat atas tinggal menginformasikan pada level yang lebih rendah
sampai kepada guru. Guru-guru akan senang mendapat pembinaan dan pelatihan
dalam rangka meningkatkan kemampuannya.
Peluang lain dalam
rangka meningkatkan kualitas guru adalah perhatian dari berbagai pihak termasuk
bantuan dari luar negeri. Selama dalam pengimplementasiannya tidak dijamah dan
dikotori tangan-tangan jahil, dan mengalirkan bantuan tak terlambat, upaya
meningkatan SDM guru diharapkan dapat tercapai. Pada akhirnya guru akan lebih
berdedikasi dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin di
masa depan.
Kita tidak boleh
menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah dibom pada Perang Dunia
II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang pada beberapa puluh tahun
lalu masih berguru ke Indonesia, kini menjadi negara yang cukup maju.
Keberhasilan mereka sebagaimana laporan komisi UNESCO semata-mata karena negara-negara
tersebut tidak pernah merasa takut rugi mengeluarkan dana yang besar bagi
kepentingan pendidikan. (Sam M. Chan & Tuti T. Sam. 2013: 63). Bagi mereka
hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human investment). Mereka tidak perlu menunggu waktu lama, kini
mereka telah memetik hasilnya.
Kalau negara lain bisa
melakukan hal tersebut, tidak pernah ada kata terlambat untuk itu atau kita
akan kehilangan sama sekali kesempatan memperbaiki generasi yang akan datang.
Beranikah kita menghadapi lost generation bagi anak cucu kita ? Pendidikan yang
bermutu memerlukan dana karena itu jangan hitung benefit demi keuntungan pribadi. Hitunglah cost benefit sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa ini.
Undang Undang Guru dan
Dosen mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang
tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik. Tuntutan kompetensi
ini pada Pasal 10 UUGD dijabarkan menjadi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik,
kompetensi profsional, dan kompetensi sosial. (Muchlis Samani, dkk. 2006: 37).
Sesuai dengan kehadiran
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dimaksudkan
sebagai suatu komponen dari upaya peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya
UUGD yang mewajibkan guru (disemua jenjang dan jenis pendidikan) mengikuti dan
lulus sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan
meningkat sesuai standar yang telah ditetapkan. (Muchlis Samani, dkk. 2006: 4).
Undang-Undang No. 14
Tahun 2005 pasal 1 ayat (1) UUGD disebutkan bahwa “Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Rumusan ini sangat
mirip dengan isi yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUSPN sehingga dapat
dikatakan bahwa definisi tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia. Hal ini
dipertegas lagi pada Pasal 8 UUGD yang disebutkan “Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik , kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”.
Rumusan ini hampir sama dengan isi rumusan pada Pasal 42 ayat (1) UUSPN. Perbedaan
di antara kedua rumusan hanya pada penggunaan istilah ”kualifikasi akademik”
pada UUGD, sedangkan pada UUSPN menggunakan istilah ”kualifikasi minimum”.
Namun jika dicermati substansi isi keduanya secara maknawi tidak mengandung
hal-hal yang secara substansi bertentangan. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia memang diwajibkan memenuhi
tiga persyaratan, yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan
sertifikasi pendidikan.
Kaitan ketiga
persyaratan untuk menjadi guru di atas, bisa diperjelas dengan melacak isi
Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa “Sertifikasi pendidik merupakan
bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai
tenaga profesional”. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan
bahwa “Sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi
persyaratan”. Untuk itu guru dapat memperoleh sertifikasi pendidik jika telah
memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan
(diploma-D4/sarjana-S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu.
Dengan demikian syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada
dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan
kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Jadi sertifikasi pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di
atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal
sebagai guru.
2.4.
Solusi
Mengatasi Persoalan Pendidikan di Indonesia
Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah
mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan
suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih
demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan
pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut
danya perubahan pengelolan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada
yang lebih bersifat desentralistik.
Tilaar (2002:20) bahkan
mempertegas bahwa “Desentralisasi pendidikan merupakan suatu keaharusan.
Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi
pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan masyarakat demokrasi;
(b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa”.
Penyelenggaraan
pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik. Sebab yang
menjadi penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. Yang dimaksud
dengan penyelenggara adalah mereka yang menduduki jabatan struktural, seperti
kepala sekolah, ketua jurusan, dekan, dan rektor. Pejabat struktural di
kantor-kantor pendidikan juga dapat disebut penyelenggara pendidikan, walaupun
hanya menangani aturan dan kebijakan, sebab kedua hal ini juga mempengaruhi
bahkan dalam hal-hal tertentu menentukan pelaksanaan pendidikan di sekolah atau
di perguruan tinggi. Sudah menjadi kewajiban, bahkan suatu keharusan mutlak
bagi para penyelenggara pendidikan untuk bertindak profesional dalam pendidikan.
Hanya dengan cara demikian penyelenggaraan pendidikan yang melibatkan sejumlah
pendidik yang propesional dapat berjalan dengan efektif dan efesien. Para
penyelenggara pendidikan di Indonesia sampai saat ini belum profesional.
(Pidarta. 2006: 288).
Hal ini dapat dimaklumi
sebab hampir semua penyelenggara pendidikan jalur sekolah direkrut dari para
pendidik yang berpengalaman dan sukses. Sebagai pendidik sangat mungkin mereka
sudah profesional, tetapi sebagai penyelenggara pendidikan haruslah seorang
profesional di bidang itu, malah harus lebih profesional dari pada para
pendidik, sebab peranan penyelenggara pendidikan lebih besar dibandingkan
dengan peranan para pendidik dalam mensukseskan pendidikan.
Manajemen pendidikan
tidak sama dengan manajemen pemerintahan, apa lagi manajemen bisnis yang
mementingkan keuntungan uang. Manajemen pendidikan adalah menangani
individu-individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang
berkembang dan bertumbuh. Bantuan dan kesempatan berkembang ke arah positif inilah
yang harus dicapai oleh manajemen pendidikan. Manajemen ini membutuhkan banyak
variasi, kreasi, dan kiat yang hanya diperoleh melalui pendidikan formal dan
sejumlah pengalaman lapangan. Sebab manajemen ini bermuara pada keberhasilan
proses pendidikan.
Gerak dan dinamika
penyelenggara pendidikan hampir sama dengan gerak dan dinamika manajer
perusahan, tidak sama dengan kepala kantor dalam bidang pemerintahan. Sama
halnya dengan kepala perusahaan, penyelenggra pendidikan adalah pemimpin
lembaga pendidikan, yang bertanggung jawab terhadap hidup dan majunya lembaga
yang ia pimpin.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan
pembahasan, maka berikut ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesejahteran
guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya sampai
saat ini masih sangat memprihatinkan, sehingga pahlawan tanpa tanda jasa masih
harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
2. Kualitas
dan kuantitas guru saat ini, merupakan hal yang dilematis, secara objektif
jumlah guru saat ini memang kurang memadai,
3. Guru
wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan
pembelajaran yang mendidik, yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi
pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial.
4. Pemberlakuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah, termasuk
didalamnya desentralisasi pendidikan, yang meliputi pembangunan masyarakat
demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa,
penyelenggaraan pendidikan yang profesional.
3.2.
Saran
Pemerintah seharusnya
mengkaji ulang dan mencermati tentang pemerataan guru agar terjadi pemerataan
dalam dunia pendidikan, baik pusat maupun daerah dan juga memperhatikan
kesejahteraan guru, tidak hanya sebagai kebijakan yang tanpa pelaksanaan,
tetapi benar-benar di laksanakan, di monitoring, dan di evaluasi
pelaksanaannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Azahari,
Azril. Dampak Globalisasi di Pendidikan
Tinggi untuk Mengantisipasi Tahun 2020. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan
Tahun ke 6 No. 023, Mei 2000, halaman 78-89.
Salam,
Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik
(Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.
Made
Pidarta. 2006. Landasan Kependidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Muchlis
Samani, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi
Guru di Indonesia. Indonesia: Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia
Sam
M. Chan dan Tuti T. Sam. 2013. Analisis
Swot : Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sardiman
A. M. 2006. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tilaar,
H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan
Nasional. Jakarta : Rineka Cipta
. 2001. Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian
Pendidikan Masa Depan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang
No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-Undang
No 22 Thaun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah
KEBIJAKAN TENTANG KUALITAS DAN KUANTITAS GURU DI ERA GLOBALISASI
Oleh : Arifa Rakhman
Pasca Sarjana UNIGA MALANG (2014)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Menurut Undang Undang
nomor 20 tahun 2003 dikatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Artinya secara implisit pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk
peserta didik yang paripurna. Dalam Undang Undang tentang Sistem pendidikan
Nasional ini juga dikatakan bahwa di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia pendidikan harus memenuhi kriteria minimal yakni memenuhi 8
Standar Nasional Pendidikan yang diatur lebih lanjut pada peraturan Pemerintah
nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Kebijakan Menteri
Pendidikan Nasional yang berani dan inovatif menghapus ebtanas secara bertahap
dari SD hingga menyusul SMP/SMU, menunjukkan kemauan pemerintah (potical will) untuk memutus
persoalan-persoalan filosofis dan teknik di seputar penyelenggaraan ebtanas
dengan praktik-praktik penyelenggaraan yang menyeleweng dan berbiaya tinggi,
serta untuk mengatasi berbagai kelemahan kualitas pendidikan dan peran sumber
daya manusia lebih efektif.
Berbagai upaya telah
dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia,
termasuk di dalamnya adalah dengan dihapuskannya sistem evaluasi pendidikan
EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) kemudian di gantikan dengan UN
(Ujian Nasional). Ujian Nasional (UN) merupakan program evaluasi yang berfungsi
selektif, yaitu untuk memilih peserta didik yang sudah berhak meninggalkan
sekolah. Ujian Nasional (UN) juga merupakan bentuk penilaian hasil belajar oleh
pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu.
Hasil ujian nasional yang
digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan
satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan
kelulusan peserta didik dari program dan satuan pendidikan, dan pembinaan dan
pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan
mutu pendidikan (PP No 19 Tahun 2005 pasal 68).
Namun kenyataan yang terjadi
dilapangan sungguh berbeda bahkan ironis. Pendidikan yang semula diharapkan
menjadi bekal buat membangun masyarakat Indonesia baru yang tercerahkan justru
sebaliknya menjadi cobaan yang justru membuat bangsa ini kian terpuruk. Sejalan
dengan kenyataan itu, keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh
keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan. Begitu juga dengan pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) yang pada dasarnya bertujuan untuk mengukur pencapaian
kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian
Standar Nasional Pendidikan.
Apakah Ujian nasional (UN) yang dilaksanakan selama
ini sudah memenuhi standar yang ada sesuai Prosedur Operasi Standar (POS) yang
dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ? Sementara kita
membaca dan melihat di media massa maupun media elektronik ketika UN
dilaksanakan begitu banyak beredar kunci jawaban melalui SMS yang notabene
tidak jelas darimana sumber kunci jawaban tersebut. Apakah pelaksanaan UN yang
demikian mampu mengukur pencapaian kompetensi peserta didik yang
sebenarnya ?
1.2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
tersebut, dapat di identifikasi rumusan masalah sebagai berikut :
1. Mengapa
EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) di hapuskan ?
2. Bagaimana
dampak yang ditimbulkan oleh UN (Ujian Nasional) ?
3. Bagaimana
mengatasi ketimpangan yang terjadi pada pelaksanaan UN terhadap tujuan
pendidikan ?
1.3.
Tujuan
1. Mengetahui
penyebab EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) di hapuskan.
2. Mengetahui
dampak yang ditimbulkan oleh UN (Ujian Nasional).
3. Mengetahui
solusi mengatasi ketimpangan yang terjadi pada pelaksanaan UN terhadap tujuan
pendidikan.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1. Sejarah Evaluasi Pendidikan Secara
Nasional di Indonesia
Perkembangan
evaluasi pendidikan secara nasional dari zaman ke zaman di Indonesia mengalami
banyak metamorfosa. Telah beberapa kali diganti formatnya, seperti yang akan
dibahas dibawah ini :
1. Tahun 1965 –
1971
Sistem ujian
di tahun ini dinamakan sebagai Ujian
Negara. Hampir berlaku untuk semua mata pelajaran, semua jenjang yang
ada di Indonesia, yang berada pada satu kebijakan pemerintah pusat.
2. Tahun
1972-1979
Pada tahun
ini, Ujian Negara ditiadakan,
lalu di ubah menjadi Ujian sekolah.
Sehingga, sekolahlah yang menyelenggarakan ujian sendiri. Semuanya diserahkan
kepada sekolah, sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan
umum terkait dengan ujian yang akan dilaksanakan oleh pihak sekolah
3. Tahun 1980 –
2000
Untuk mengendalikan,
mengevaluasi, dan mengembangkan mutu pendidikan, Ujian sekolah diganti lagi
menjadi Evaluasi Belajat Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS ini, dikembangkan perangkat ujian
paralalel untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan yang
menyelenggarakan dan monitoring soal dilaksanakan oleh daerah masing-masing.
4. Tahun 2001 –
2004
EBTANAS diganti
lagi menjadi Ujian Akhir Nasional
(UNAS). Hal yang menonjol dalam peralihan dari EBTANAS menjadi UNAS
adalah dalam penentuan kelulusan siswa, yaitu ketika masih menganut
sistem Ebtanas kelulusan berdasarkan nilai 2 semester raport terakhir dan nilai
EBTANAS murni, sedangkan dalam kelulusan UNAS ditentukan oleh mata pelajaran
secara individual.
5. Tahun 2005 –
2009
Terjadi perubahan
sistem yaitu pada target wajib belajar pendidikan (SD/MI/SD-LB/MTs/SMP/SMP-LB/SMA/MA/SMK/SMA-LB)
sehingga nilai kelulusan ada target minimal.
6. Tahun 2010 –
Sekarang
UNAS diganti menjadi Ujian Nasional
(UN). Untuk UN tahun 2012, ada ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus UN
tahap pertama. Dengan target, siswa yang melaksanakan UN dapat mencapai nilai
standar minimal UN sehingga mendapatkan lulusan UN dengan baik.
Berikut
adalah beberapa perubahan dari masa ke masa jati diri UN di Indonesia. Dibalik
banyaknya perubahan, semua hal tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Indonesia. Karena UN sampai saat ini menjadi faktor yang menjadi
tolak ukur keberhasilan dari suatu jenjang pendidikan, terlepas dari beberapa
hal yang menjadi kekurangan dari sistem UN tersebut.
2.2.
Kelemahan Evaluasi Belajar Tahap Nasional (EBTANAS)
Hal mendasar yang
menjadi landasan pemikiran penggantian ebtanas dengan Ujian Akhir Nasional
(UAN) adalah untuk menyempurnakan ebtanas dengan memperbaiki
kelemahan-kelemahan yang di temui dalam sistem ebtanas, baik dari segi akademis
maupun segi teknis penyelenggaraan.
Disamping itu juga untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih
realistis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Sistem penilaian
pendidikan atau hasil belajar ebtanas selama ini mengandung banyak sekali
kelemahan. Ebtanas telah mematikan kreativitas pendidikan. Soal-soal tes
biasanya dijadikan acuan guru dalam pembelajaran kepada murid. Bahkan, guru
akan menambah les-les tambahan untuk mengejar nilai ebtanas.
Dari segi akademis,
sistem penilaian ebtanas memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut :
1.
Ebtanas tidak mampu mengukur pencapaian
prestasi akademik secara komprehensif, tetapi hanya terdapat sejumlah tujuan
instruksional tertentu.
2.
Pengujiannya hanya di lakukan secara
temporal dan dalam waktu singkat.
3.
Hanya mampu mengumpulkan informasi yang
terkait dengan kemampuan kognitif sementara yang non kognitif tidak dapat di
evaluasi.
4.
Validitas dan reabilitas instrumen
rendah ( seperti bidang PPKn)
5.
Banyak menimbulkan bias perlakuan
terhadap skor.
6.
Banyak nuruting effect yang menyebabkan tereduksi proses, misalnya proses
pembelajaran yang berorientasi pada ebtanas, persekolahan yang di dominasi oleh
transfer of knowledge, dan tidak transfer of value, siswa hanya
terajar bukan terdidik. Siswa hanya terlatih menghafal, tanpa memahami apalagi
mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Siswa sebagai robot.
Selama ini sekolah dan
para guru selalu melaksanakan penilaian seperti ulangan harian, ulangan akhir
dan ebtanas, tetapi secara empiris perolehan nilai siswa tidak menggambarkan
prestasi belajar anak sesungguhnya. Hasil belajar yang menggembirakan, ketika
anak diukur denga soal-soal yang di kembangkan oleh sekolah, tetapi tidak
ketika soal di koordinasi di tingkat kabupaten/kota. Perolehan nilai yang
dicapai oleh siswa sangat tidak memuaskan, karena memang tidak mengukur sesuai
dengan keadaan yang sesungguhnya. Nilai siswa mencapai kebalikannya. Yang lebih
mengecewakan lagi adalah ketika Nilai Ebtanas Murni (NEM) di gelar melalui
daftar kolektif NEM (dakonem).
Menurut Sam & Tuti
ada beberapa temuan tentang ebtanas sesuai dengan realitas yang ada, yaitu :
1.
Selalu saja terjadi kebocoran soal
ebtanas, manipulasi koreksi yang di lakukan oleh oknum korektor ebtanas, serta
daftar NEM yang tidak asli.
2.
Banyak terjadi penyimpangan dana
ebtanas, terutama terjadi di sekolah-sekolah daerah.
3.
Campur tangan pemerintah pusat masih
dominan.
4.
Orientasi sekolah hanya mengejar NEM
5.
Politisasi ebtanas menjadi alat untuk
mengangkat sekolah-sekolah negeri agar terkesan berkualitas dengan menggunakan
NEM sebagai seleksi masuk sekolah selanjutnya.
2.3.
Tujuan Penyelenggaraan Ujian Nasional
Ujian
nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara
nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh
pusat penilaian pendidikan dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) yang memiliki tugas dan tanggungjawab, diantaranya adalah melakukan
sosialisasi penyelenggaraan UN, menetapkan kisi-kisi soal berdasarkan standar
kompetensi lulusan (SKL), menyusun dan merakit soal, menjamin mutu soal,
menyiapkan master naskah soal, melakukan penskoran hasil UN, mendistribusikan
hasil UN ke provinsi, mengkoordinasikan kegiatan pemantauan UN, menganalisis
data hasil UN, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan UN kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun tujuan ujian nasional adalah menilai
pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.4.
Kelebihan
dan Kelemahan Ujian Nasional
Ujian Nasional pertama kali
diperkenalkan tahun ajaran 2002/2003 dengan istilah Ujian Akhir Nasional (UAN).
Kemudian dari tahun ajaran 2004/2005 berubah menjadi Ujian Nasional (UN) hingga
sekarang. Dari kurun waktu pelaksanaan yang sudah sekian tahun dapat dilihat
apa kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan ujian nasional tersebut.
Adapun kelebihan yang diperoleh dengan
dilaksanakannya ujian nasional antara lain :
a.
Dapat menggambarkan
indikator kondisi pendidikan di Indonesia secara umum, artinya lembaga
pendidikan internasional (UNESCO dll) dapat mengetahui kondisi pendidikan di
Indonesia melalui UN.
b.
Dapat memacu sekolah, dinas
pendidikan (propinsi dan kab/kota) untuk berkompetisi dalam meningkatkan
kualitas pendidikan.
c.
Dapat memotivasi guru untuk
senantiasa meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga guru senantiasa
meningkatkan kompetensinya untuk menuju guru yang profesional.
d.
Dapat memotivasi siswa untuk
terus belajar sehingga mampu meraih nilai ujian nasional yang tinggi. Artinya
disini dengan dilaksanakannya ujian nasional dapat membelajarkan siswa sehingga
mampu berkembang secara optimal dalam mengembangkan potensinya.
Di samping kelebihan tersebut di atas, pelaksanaan ujian nasional
juga banyak memiliki kelemahan antara lain :
a.
Pelaksanaan ujian nasional
bertentangan dengan prinsip penilaian pada kurikulum yang berlaku dimana
penilaian menekankan penilaian yang otentik (autentic assesment) yaitu
penilaian saat proses pembelajaran berlangsung yang pelaksanaannya diserahkan
kepada sekolah/ guru sesuai dengan kondisi sekolah yang ada.
b.
Adanya standar nilai ujian
nasional yang sama di seluruh Indonesia, sementara kondisi sekolah baik sarana
prasarana, guru, input siswa di setiap daerah terdapat perbedaan yang sangat
signifikan.
c.
Dengan dilaksanakannya nilai
ujian nasional sebagai salah satu syarat kelulusan akan menimbulkan kompetisi
yang tidak sehat. Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan bahwa tingginya
nilai ujian nasional di sekolah atau daerah masih dianggap sebagai gambaran
kualitas pendidikan disekolah/ daerah tersebut.
d.
Adanya pemborosan anggaran
biaya penyelenggaraan pendidikan, karena pelaksanaan ujian nasional
menghabiskan dana yang tidak sedikit mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga
evaluasi.
e.
Ujian nasional merupakan
penilaian yang sifatnya sesaat dan hanya menilai aspek kognitif saja, namun
menentukan kelulusan. Hal ini bertentangan dengan penilaian berbasis kelas
(PBK) yang menitikberatkan penilaian selama proses pembelajaran berlangsung.
2.5.
Pro Kontra Pelaksanaan
Ujian Nasional
Dari
kelebihan dan kelemahan tersebut di atas memicu munculnya pro-kontra dan protes
terhadap pelaksanaan ujian nasional dari berbagai kalangan yang disebabkan oleh
beberapa faktor :
Pertama, adanya perbedaan yang tinggi
tentang mutu sekolah baik dalam satu daerah maupun antar daerah. Realitas di
lapangan menunjukan mutu sekolah berbeda-beda, baik dari aspek siswa, guru,
fasilitas, sumber dana, maupun manajemen. Dengan perbedaan ini tentu kurang
bijaksana kalau diterapkan standar yang sama untuk persyaratan kelulusan.
Seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dengan
memperhatikan kondisi riil daerah dan sekolah.
Kedua, hasil ujian nasional yang hanya
menguji beberapa mata pelajaran dan hanya bersifat kognitif tidak serta merta
dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan. Kalangan yang menolak ujian
nasional berpandangan bahwa untuk mengukur standar mutu pendidikan harus
dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non-akademis, proses dan
input pendidikan. Meningkatkan standar mutu pendidikan tentu tidak sesederhana
hanya dengan meningkatkan angka standar kelulusan.
Ketiga, hasil ujian nasional selama ini
tidak ada tindak lanjutnya. Para praktisi pendidikan, terutama guru selama ini
kurang merasakan adanya manfaat nyata dari ujian nasional, terutama dalam hal
peningkatan kualitas mengajar. Ujian nasional lebih sekedar kegiatan rutin
tahunan. Seharusnya pasca ujian nasional dilakukan pelatihan intensif terhadap
guru bidang studi yang siswanya banyak yang gagal dalam ujian nasional.
Keempat, ujian nasional di SMA/SMK
kurang mempunyai relevansi dengan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
Siswa SMA yang dinyatakan lulus dengan nilai ujian nasiona yang tinggi tetap
harus ikut seleksi untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Sepertinya tidak ada
koordinasi antara Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan
Tinggi. Pihak Perguruan Tinggi sepertinya “tidak percaya” dengan hasil ujian
nasional yang diselenggarakan manajemen pendidikan dasar dan menengah. Padahal
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan pasal 68 dinyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai
salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan
berikutnya.
2.6. Ujian
Nasional dan Mutu Pendidikan
Pro
kontra seputar ujian nasional tidak seharusnya terjadi kalau semua pihak saling
memahami dan menempatkan ujian nasioinal secara proporsional. Pihak pemerintah
melalui Depdiknas harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis,
bertahap dan berkelanjutan. Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk
mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi
guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas.
Hasil
ujian nasional juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat
meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif. Sistem penilaian ujian
nasional harus mampu: memberi informasi yang akurat; mendorong siswa untuk
belajar; memotivasi guru dalam pembelajaran; meningkatkan kinerja lembaga; dan
meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan sistem penilaian yang demikian
diharapkan secara berangsur-angsur mutu pendidikan di tanah air akan meningkat.
Di lain pihak, para praktisi pendidikan di lapangan, terutama guru dan Kepala
Sekolah harus meningkatkan kompetensi dan kinerjanya, sehingga kualitas
pembelajaran di kelas akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan mutu
pendidikan. Dengan demikian berapapun standar kelulusan yang akan ditetapkan
pemerintah akan selalu siap, tanpa ada rasa takut dan kaget.
Di
sisi lain pula para siswa dan orang tua juga akan tumbuh kesadaran bahwa untuk
mencapai hasil yang memuaskan harus ditempuh dengan kerja keras, sehingga
anggapan dalam ujian pasti lulus 100% hilang dari pikiran mereka. Kalau semua
pihak sudah pada pemikiran, kesadaran, dan tindakan yang sama, maka mutu
pendidikan di Indonesia perlahan-lahan namun pasti akan meningkat.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap
masalah-masalah evaluasi pendidikan di atas, dapat di ambil kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Sistem penilaian pendidikan atau hasil
belajar ebtanas selama ini mengandung banyak sekali kelemahan-kelemahan. Penilaian
evaluasi tahap akhir tidak menunjukkan penilaian yang sebenarnya. Hasil
penilaian yang di lakukan tidak relevan dengan kenyataan, karena banyaknya
campur tangan berbagai kepentingan tidak semua daerah/kota siap terutama sumber
daya manusianya.
2.
Ujian Nasional menimbulkan
dampak positif dan negatif, dampak positifnya siswa lebih semangat lagi belajar
untuk mendapatkan nilai yang baik. Siswa diajarkan untuk
tidak curang, seperti menyontek karena pengawasan yang ketat dan pengawasnya
pun bukan dari guru asal sekolah mereka. Menjadikan siswa untuk tidak
bergantung pada guru. Dengan begitu murid akan mencari bimbel untuk persiapan
UN karena merasa di sekolah belum
terlalu mengerti. UN akan menciptakan generasi-generasi bangsa kita yang
berkompeten. Sedangkan negatifnya adalah siswa harus menyiapkan tenaga ekstra
untuk mengikuti les atau bimbingan belajar. UN merupakan standar yang
ditetapkan pemerintah untuk menentukan siswa berhak lulus atau tidak. Dengan
adanya UN, pemerintah akan mengetahui tingkat pendidikan yang telah siswa
jalani selama di sekolah. Akan tetapi, tingkat pendidikan setiap daerah di Indonesia
tidaklah sama. Masih banyak daerah dengan tenaga pengajar yang tidak sesuai
dengan jumlah yang diharapkan.
3.
Ujian nasional masih perlu dilaksanakan
agar gambaran riil pendidikan di Indonesia dapat diketahui dan dapat memotivasi
daerah/sekolah untuk senantiasa meningkatkan kualitas sehingga mencapai 8
Standar nasional pendidikan sesuai dengan PP nomor 19 tahun 2005. Namun yang
perlu diperbaiki adalah pelaksanaannya sehingga UN yang dilaksanakan
benar-benar dapat mencapai tujuan UN itu sendiri dan tujuan pendidikan nasional
yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
3.2.
Saran
Untuk mengefektifkan pelaksanaan ujian nasional, maka perlu dilakukan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Pemerintah
memfasilitasi guru mata pelajaran yang diujikan untuk meningkatkan kompetensi
mereka
2. Pemerintah
membuat konsep ujian nasional yang bukan hanya menitik beratkan pada ranah
kognitif saja tetapi juga ranah afektif dan psikomotorik.
3. Komponen
sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, staf tata usaha, peserta didik dan wali
murid peserta didik bekerja sama dalam persiapan menghadapi ujian nasional.
4. Nilai
ujian nasional dapat dijadikan salah satu syarat kelulusan, namun perlu adanya grade
(tingkatan) standar kelulusan di setiap daerah. Kelulusan bisa
dikategorikan berdasarkan hasil akreditasi. Sekolah dengan akreditasi A
memiliki standar kelulusan yang bebeda dengan sekolah dengan akreditasi B.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto
Suharsimi. 1996. Dasar-Dasar Evalusi
Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Basarudin
Chan. Ujian Nasional Untuk Apa ? http://edukasi.kompas.com di
akses tanggal 30 September 2014.
Chan Sam. M. & Adi Tuti
T. 2013. Analisis Swot : Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Fajar
Ibnu. Kontroversi Pelaksanaan Ujian
Nasional Di Tinjau Dari Landasan Hukum Pendidikan. http://ibnufajar75.wordpress.com di
akses tanggal 30 September 2014.
Seri
Hukum dan Perundangan: Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
Jakarta : SL Media.
Langganan:
Postingan (Atom)