Minggu, 16 November 2014

EVALUASI PENDIDIKAN SECARA NASIONAL



OLEH : ARIFA RAKHMAN
PASCA SARJANA UNIGA MALANG 2014
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Penyertaan pendidikan dalam usaha pembangunan di berbagai bidang jelas diperlukan. Stimulasi dan penyertaan upaya pendidikan pada masyarakat yang sedang membangun ternyata memberikan hasil yang memuaskan di dalam mengatasi persoalan-persoalan dan hajat hidup orang banyak, baik di bidang perbaikan sistem politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya (Burhanuddin Salam, 1997: 172).
Tidak dapat disangkal lagi tentang besarnya arti pendidikan sebagai faktor universal yang mutlak ada dan harus diperhatikan secara khusus. Tidak berlebihan jika posisi pendidikan seharusnya dijadikan sebagai ”public good”.Di Indonesia sudah seharusnya pendidikan diprioritaskan pengembangannya. Jika mencermati sudut politik will pemerintah, gagasan untuk itu telah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah pada sektor pendidikan.
Ujung tombak dari setiap kebijakan atau yang berkaitan dengan pendidikan, akhirnya berpulang pada makhluk yang bernama guru. Gurulah yang akan melaksanakan secara operasional segala bentuk pola, gerak, dan geliatnya perubahan kurikulum tersebut. Seperti saat ini, ketika berbagai model pembelajaran yang berkaitan dengan kurikulum sedang diujicobakan, gurulah yang sangat berperan dalam melaksanakannya. Masukan dari para guru tersebut akan dijadikan sebagai bagian dari perbaikan, terutama pada model pembelajaran itu sendiri dan juga pada komponen atau unsur-unsur kurikulum lainnya yang terkait dengan uji coba tersebut.
Sampai saat ini kurikulum yang diterapkan di Indonesia masih sangat labil perubahan kurikulum berlangsung begitu cepat. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang di terapkan, belum semua tenaga pendidik dan kependidikan memahami dan mampu melaksanakan kurikulum tersebut sudah muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kemudian di susul dengan Kurikulum 2013. Jika dicermati secara teoritis semuanya memiliki keunggulan, semuanya serba bagus, tidak ada argumentasi yang negatif. Persoalannya sesungguhnya adalah apakah sudah siap untuk melaksanakan semua itu, dengan kondisi pendidikan seperti ini. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. (Yatim Riyanto, 2006: 9).
Menurut Mauritz Johnson (dalam Yatim Riyanto, 2006: 9) kurikulum ”prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”. Melihat peran yang begitu besar dari para guru, dengan perubahan kurikulum yang begitu cepat, lalu timbul pertanyaan: apakah guru-guru di Indonesia memiliki kualifikasi yang memadai untuk itu? Apakah guru-guru tersebut mempunyai kualitas professional kearah itu ? Selain itu, secara professional apakah guru-guru memiliki kemauan dan komitmen dalam upaya perbaikan kurikulum ini ? Yang menjadi kekhawatiran dan kegalauan kita adalah dari sekian guru yang jumlahnya jutaan tersebut, apakah persentase terbesar dari mereka itu lebih mengarah pada kualitas yang kurang    memadai ? Secara kuantitas, cukupkah jumlah guru sekarang ini dan apakah mereka tersebar secara merata di seluruh Indonesia.
Pada era globalisasi ini, baik yang mencakup aspek ekonomi, budaya, politik, pendidikan atau aspek sosial sekalipun akan memberikan kemungkinan yang sangat terbuka bagi siapa saja untuk turut bersaing di setiap negara peserta. Persaingan bebas seperti ini menuntut kesiapan setiap negara secara optimal bila ingin tetap bisa berperan serta. Dalam kondisi yang demikian itu, tidak ada jalan lain yang harus dilakukan oleh sebuah negara yaitu melaksanakan atau mereformasi sistem perekonomian, sistem perdagangan, sistem produksi, sistem pendidikan, atau sistem pembinaan sumberdaya manusianya yang sesuai dengan tuntutan era pasar bebas tersebut. Jika negara tidak mengindahkan hal tersebut, produk barang atau jasanya tidak memiliki daya saing yang memadai. Dengan demikian para investor dan atau para buyers tersebut tidak akan pernah berkehendak untuk tertarik dengan produk barang atau jasa negara tersebut.
Era globalisaasi merupakan suatu kondisi yang memperlihatkan dunia ini sudah semakin mengecil. Kita tidak akan bisa lagi menyembunyikan kebobrokan atau keadaan yang buruk dari suatu negara. Hal itu kemungkinan terjadi berkat kemajuan teknik informatika. Kejadian apapun yang dialami oleh suatu negara, dalam waktu singkat akan diketahui oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam waktu yang relatif singkat berita baik atau buruk di suatu negara telah mengglobal. (Sam M. Chan, & Tuti T Sam. 2013; 139).  Di dalam kontek informatisasi, dunia ini sudah menjadi satu, tidak ada lagi kotak-kotak yang membatasi wilayah satu dengan lainnya. Azahari (2000 : 79) menyebutnya dengan istilah “Dunia adalah satu tempat yang tunggal tanpa batas (borderless world and only one earth)”.
Dengan demikian, kemajuan dan keterbelakangan suatu negara menjadi demikian transparan. Hal ini berimplikasi pada implementasi proses-proses global, seperti proses humanisasi dan proses demokratisasi. (Tilaar, 2001:4). Sektor pendidikan yang menjadi tulang punggung penting dalam membina dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), perlu mengambil langkah-langkah konkret dalam menghadapi kecendrungan global tersebut. Guru sebagai pasukan paling depan dalam mencetak sumber daya manusia memikul beban yang tidak ringan dengan kondisi dan tantangan saat ini, seperti yang kita saksikan dan rasakan bersama.
1.2.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi ?
2.        Bagaimana kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi ?
3.        Bagaimana mutu guru yang ideal diera globalisasi ?
4.        Bagaimana mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia ?
1.3.   Tujuan
1.        Untuk mengetahui kesejahteraan guru sebagai ujung tombak pencetak SDM di era globalisasi.
2.        Untuk mengetahui kualitas dan kuantitas guru yang ada di era globalisasi.
3.        Untuk mengetahui mutu guru yang ideal diera globalisasi.
4.        Untuk mencarikan solusi mengatasi persoalan pendidikan di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.        Kesejahteran Guru di Era Globalisasi
Guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses pembelajaran, yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu guru merupakan salah satu unsur di bidang kependidikan harus berperan serta secara aktif dan menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Dalam arti khusus dapat dikatakan bahwa pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu. Dalam rangka ini guru tidak semata-mata sebagai ”pengajar” yang transfer of knowldge, tetapi juga sebagai ”pendidik” yang transfer of values dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkenaan dengan ini maka sebenarnya guru memiliki peranan yang unik dan sangat kompleks di dalam pembelajaran, dalam usahanya untuk mengantarkan siswa ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya. (Sardiman, 2006: 123).
Untuk dapat melakukan peranan dan melaksanakan tugas serta tanggung jawabnya, guru memerlukan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat inilah yang akan membedakan antara guru dari manusia-manusia lain pada umumnya. Adapun syarat-syarat bagi guru itu adalah pesyaratan administratif, persyaratan teknis, pesyaratan psikis, dan persyaratan fisik. Sesuai dengan tugas keprofesiannya, maka guru memiliki persyaratan sebagai berikut, memiliki kemampuan profesional, memiliki kapasitas intelektual, memiliki sifat edukasi sosial. (Sardiman, 2006: 124).
Sesuai dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan Desember 2005 guru lagi-lagi dibebani dengan persyaratan terbaru yaitu ”sertifikasi” walaupun sampai saat ini belum dilaksanakan secara keseluruhan, tetapi cukup menjadi beban psikologis dikalangan para guru.
Memperhatikan tuntutan profesionalisme seorang guru yang tidak ringan, pertanyaan akan muncul dibenak kita apa imbalan yang akan dijanjikan kepada para pahlawan tanpa tanda jasa ini ? Gaji guru saat ini, untuk golongan tertinggi saja hanya kurang lebih Rp. 2.400.000,- itu pun dengan masa kerja puluhan tahun.(Sam M. Chan dkk., 2006: 56). Lebih jauh dijelaskan bahwa bagaimana gaji guru yang hanya berada di tingkat bawah ? Dari hasil wawancara dengan guru-guru SD dan SLTP mengenai gaji yang mereka terima. Umumnya hanya cukup untuk biaya hidup selama kurang belih 10 hari pada setiap bulannya. Lantas ke mana mereka mencari uang lainnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga ?
Fenomena seperti ini tentu amat memprihatinkan, guru sebagai profesi yang dipandang sebagai ”orang suci” harus mengais-ngais mencari tambahan lain bagi pemenuhan kebutuhan keluarganya. Jika ada keinginan pemerintah menaikkan gaji guru, baik berita maupun baru keinginan, harga-harga telah melambung tinggi mendahului kenaikan sesungguhnya yang masih saja tetap tidak memadai. Ditambah lagi dengan efek berita kenaikkan gaji yang menyodok meningkatnya kenaikan harga. Alhasil, kadang-kadang justru dengan kenaikan gajinya, kesejateraan guru bukan semakin membaik malah semakin memburuk.
Sekali lagi amat menyedihkan melihat kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya begitu rendah. Kadang-kadang untuk menutupi kekurangan gajinya dan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, seorang guru ada yang mencari pekerjaan sampingan sebagai tukang ojek. Pekerjaan ojek bukanlah pekerjaan hina, tetapi secara status sosial dan secara psikis, jauh di lubuk dan beribu rasa yang tidak nyaman. Namun, tuntutan kebutuhan hidup tak dapat diabaikan. Akhirnya untuk menghibur diri, berkatalah guru yang mempunyai kerja sampingan sebagai pengojek, ” Tak apalah, yang penting halal.”
Masih beruntung Negara dan Bangsa Indonesia yang memiliki guru dengan tingkat kesejahteraan rendah, para gurunya hanya bergelut di koridor pekerjaan ”yang penting halal”. Bagaimana seandainya para guru yang akibat himpitan ekonomi mulai melirik dan mengambil pekerjaan sampingan yang berlabel ”yang penting saya bekerja” tanpa mengindahklan nilai-nilai moral ? Bukankah hal ini bisa saja terjadi ?
2.2.         Penyebaran Jumlah dan Mutu Guru
Masalah kualitas dan kuantitas guru saat ini, juga merupakan hal yang dilematis. Secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai, namun hal ini tidak dapat dipukul rata begitu saja karena ternyata jumlah yang sedikit ini salah satu indikatornya adalah masalah pemerataan guru. Idealnya dalam satu sekolah, katakanlah SD, enam orang guru kelas, dua guru bidang studi, satu kepala sekolah, dan satu pesuruh, Paling tidak sepuluh orang. Kebanyakan di pedesaan, jumlah guru sekolah hanya ada sekitar 3-4 orang. Bahkan ada yang satu guru untuk satu sekolah, juga pesuruh. Sementara itu, di daerah perkotaan yang sarana dan prasarananya bagus, terjadi penumpukan guru. Dalam satu SD dapat dijumpai 11-14 orang guru, termasuk diantaranya kepala sekolah. ( Sam M. Chan & Tuti T. Sam, 2013: 57). Kalau sudah seperti itu dan ditanyakan ke pejabat Dins Dikpora hal itu dikatakan logis karena SD yang disebutkan tadi merupakan SD inti sehingga pengajarnya per bidang studi. Tentu saja jawaban tersebut sebagai pembenaran atas kebijakan mutasi guru yang lebih pada politik uang.
Oleh karena itu, sampai saat ini sekolah yang maju diperkotaan dapat terus bertahan dengan kemajuannya, sementara sekolah yang kekurangan guru di pedesaan/daerah terpencil semakin terisolasi dan semakin terpuruk/menurun kualitasnya.
Posisi guru memang amat rentan. Dari segi kuantitas yang amat dilematis (ada banyak sekolah yang kekurangan guru sementara ada sekolah yang kelebihan guru) jika digeneralisasi atau dipersentase memang masih banyak kekurangan guru. Untuk hal ini pemerintah mengeluarkan kebijakan akan dibukanya peluang guru kontrak pada tahun ajaran 2003/2004. Setelah dikalkulasi ternyata anggaran untuk menggaji guru kontrak menjadi hampir tiga kali lipat dari alterntif lain yang tidak menjadi perhatian pemerintah. Ternyata amat kompleks problema untuk menjadikan pendidikan sebagai panglima di negeri ini.
Belum lagi berbicara mengenai kualitas guru. Seorang guru yang memiliki posisi strategis dalam usaha tercapainya kualitas pendidikan yang semakin baik amat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan kemampuan profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan SDM yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti. (Prima MD Nuwa, Merdeka, 19 Juli 1995 dalam Sam M. Chan & Tuti T. Sam, 2013: 58).
Dilihat dari kesejateraan guru, bagaimana seorang guru dapat konsentrasi/fokus/serius dalam mengajar. Belum lagi masalah pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada kenyataannya di lapangan jika ada kegiatan-kegiatan yang berupaya meningkatkan skill dan profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan biaya. Akhirnya, guru enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan SDM guru karena harus mengeluarkan/menyisihkan gajinya yang memang sudah amat kecil tersebut.
Peningkatan dan menambahan kualitas dan kuantitas guru adalah adanya niat baik pemerintah pusat untuk dapat melakukan pemerataan jumlah guru dengan sistem ”guru kontrak”dan mengadakan perubahan kurikulum dengan berbasis pada kompetensi. Hal ini merupakan good will dari pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Hal lain, bagi peningkatan mutu guru sebagai salah satu tuntutan dalam penciptaan SDM yang bermutu melalui kegiatan pendidikan yang lebih berkualitas adalah dengan dinaikkannya anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN. Kesadaran yang cukup tinggi dari para tokoh-tokoh dunia pendidikan untuk menyongsong abad baru ini dengan pendidikan yang lebih berkualitas, termasuk di dalamnya kepedulian wakil-wakil rakyat di DPR dalam menyuarakan dan mendorong perhatian yang lebih serius pada dunia pendidikan, juga merupakan salah satu komponen yang ikut menentukan terwujudnya kualitas dan kuantitas guru di Indonesia ke depan.
Persoalan yang kemungkinan muncul akibat penambahan jumlah guru melalui sistem kontrak masalah kualitas guru yang dikontrak. Artinya guru kontrak bisa saja merupakan guru kagetan, asal-asalan. Ditinjau dari sudut anggaran/dana pun menjadi berlipat dibandingkan membiayai dalam bentuk lain untuk tujuan yang sama.
Berdasarkan pada realitas di lapangan mengenai kualitas dan kuantitas guru, ditinjau dari jumlah guru secara keseluruhan dan dibagi rata, memang ada fakta kita kekurangan guru. Namun jika dilihat lebih cermat ternyata masalah kekurangan guru hanya terjadi di daerah-daerah terpencil karena sarana prasarana yang tidak menunjang dan memadai.
Oleh karena itu, pemerintah harus membuat terobosan dalam membangun. Artinya, harus ada pemerataan dibidang pembangunan. Hal ini barangkali dapat diatasi dengan adanya UU mengenai otonomi daerah. Di samping itu, pemerintah baik pusat maupun daerah, juga harus membuat program menstimulus lagi guru-guru yang mau mengabdi di daerah-daerah terpencil. Misalnya, ada semacam tunjangan khusus bagi guru yang mau mengabdikan dirinya bagi daerah/desa yang masuk kata gori terpencil sehingga ada semacam ukuran cost dan benefit bagi guru dari sudut rasional dan tuntutan sosial.
Pemerintah tidak perlu ragu dalam memberi umpan demi terjadi pemerataan, pendidikan yang bermutu. Kalau dulu guru dapat menolak ditempatkan di daerah terpencil karena yang terbayang padanya hidupnya akan susah dengan keterbatasan fasilitas sarana dan prasarana. Belum lagi gaji yang terlambat datang. Diharapkan kini dengan adanya kebijakan yang antisipatif yang sebesar-besarnya memperhatikan kesejahteraan guru plus tawaran konpensasi tinggal di daerah terpencil, para guru akan berpikir dua kali untuk menolak tawaran yang sangat manusiawi dan menjanjikan.
Mengenai kualitas guru, memang sudah seharusnya menjadi prioritas yang diutamakan dalam rangka menyiapkan guru yang berkompeten, memiliki skill/kemampuan yang tinggi. Pemerintah tidak perlu ragu untuk mengalokasikan dana bagi meningkatan kualitas guru karena tidak dapat disangkal lagi bahwa guru merupakan ujung tombak bagi keberhasilan dunia pendidikan. Apalagi kita sadari bersama bahwa indikasi dari carut marutnya/chaos-nya kondisi di Indonesia saat ini salah satunya adalah karena kegagalan pendidikan mencetak pemimpin negara yang andal, yang moralis, dan berbudi luhur. (Sam M. Chan & Tuti T. Sam 2013: 62).
2.3.        Guru Yang Ideal Di Era Globalisasi
Pada dasarnya peluang untuk membuat guru di Indonesia profesional dalam bidangnya itu ada.Tinggal bagaimana (political will) pemerintah melaksanakannya. Hal ini telah didukung dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan anggaran pendidiakan sebesar 20% dari APBN. Kalau ini benar-benar dinomorsatukan dan dilaksanakan tanpa harus menunggu pengalokasian bidang lain, diharapkan pembinaan guru dapat ditingkatkan melalui anggaran tersebut. Budaya top down untuk hal-hal yang positif pun tidak ada salahnya. Sebagai contoh, pemerintah pusat menginginkan adanya pembinaan guru-guru untuk meningkatkan skill agar lebih profesional dan bermutu. Di tingkat atas tinggal menginformasikan pada level yang lebih rendah sampai kepada guru. Guru-guru akan senang mendapat pembinaan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuannya.
Peluang lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru adalah perhatian dari berbagai pihak termasuk bantuan dari luar negeri. Selama dalam pengimplementasiannya tidak dijamah dan dikotori tangan-tangan jahil, dan mengalirkan bantuan tak terlambat, upaya meningkatan SDM guru diharapkan dapat tercapai. Pada akhirnya guru akan lebih berdedikasi dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin di masa depan.
Kita tidak boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah dibom pada Perang Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang pada beberapa puluh tahun lalu masih berguru ke Indonesia, kini menjadi negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana laporan komisi UNESCO semata-mata karena negara-negara tersebut tidak pernah merasa takut rugi mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. (Sam M. Chan & Tuti T. Sam. 2013: 63). Bagi mereka hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human investment). Mereka tidak perlu menunggu waktu lama, kini mereka telah memetik hasilnya.
Kalau negara lain bisa melakukan hal tersebut, tidak pernah ada kata terlambat untuk itu atau kita akan kehilangan sama sekali kesempatan memperbaiki generasi yang akan datang. Beranikah kita menghadapi lost generation bagi anak cucu kita ? Pendidikan yang bermutu memerlukan dana karena itu jangan hitung benefit demi keuntungan pribadi. Hitunglah cost benefit sebesar-besarnya untuk kepentingan bangsa ini.
Undang Undang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik. Tuntutan kompetensi ini pada Pasal 10 UUGD dijabarkan menjadi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial. (Muchlis Samani, dkk. 2006: 37).
Sesuai dengan kehadiran Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dimaksudkan sebagai suatu komponen dari upaya peningkatan mutu pendidikan. Dengan adanya UUGD yang mewajibkan guru (disemua jenjang dan jenis pendidikan) mengikuti dan lulus sertifikasi, diharapkan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai standar yang telah ditetapkan. (Muchlis Samani, dkk. 2006: 4).
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 pasal 1 ayat (1) UUGD disebutkan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Rumusan ini sangat mirip dengan isi yang terdapat pada Pasal 39 ayat (2) UUSPN sehingga dapat dikatakan bahwa definisi tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia. Hal ini dipertegas lagi pada Pasal 8 UUGD yang disebutkan “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik , kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Rumusan ini hampir sama dengan isi rumusan pada Pasal 42 ayat (1) UUSPN. Perbedaan di antara kedua rumusan hanya pada penggunaan istilah ”kualifikasi akademik” pada UUGD, sedangkan pada UUSPN menggunakan istilah ”kualifikasi minimum”. Namun jika dicermati substansi isi keduanya secara maknawi tidak mengandung hal-hal yang secara substansi bertentangan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia memang diwajibkan memenuhi tiga persyaratan, yaitu kualifikasi pendidikan minimum, kompetensi, dan sertifikasi pendidikan.
Kaitan ketiga persyaratan untuk menjadi guru di atas, bisa diperjelas dengan melacak isi Pasal 1 butir (12) UUGD yang menyebutkan bahwa “Sertifikasi pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional”. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa “Sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan”. Untuk itu guru dapat memperoleh sertifikasi pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan (diploma-D4/sarjana-S1) dan terbukti telah menguasai kompetensi tertentu. Dengan demikian syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum (ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Jadi sertifikasi pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru.
2.4.         Solusi Mengatasi Persoalan Pendidikan di Indonesia
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut menuntut danya perubahan pengelolan pendidikan dari yang bersifat sentralistik kepada yang lebih bersifat desentralistik.
Tilaar (2002:20) bahkan mempertegas bahwa “Desentralisasi pendidikan merupakan suatu keaharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a) pembangunan masyarakat demokrasi; (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa”.
Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari profesionalisasi pendidik. Sebab yang menjadi penyelenggara pendidikan adalah para pendidik juga. Yang dimaksud dengan penyelenggara adalah mereka yang menduduki jabatan struktural, seperti kepala sekolah, ketua jurusan, dekan, dan rektor. Pejabat struktural di kantor-kantor pendidikan juga dapat disebut penyelenggara pendidikan, walaupun hanya menangani aturan dan kebijakan, sebab kedua hal ini juga mempengaruhi bahkan dalam hal-hal tertentu menentukan pelaksanaan pendidikan di sekolah atau di perguruan tinggi. Sudah menjadi kewajiban, bahkan suatu keharusan mutlak bagi para penyelenggara pendidikan untuk bertindak profesional dalam pendidikan. Hanya dengan cara demikian penyelenggaraan pendidikan yang melibatkan sejumlah pendidik yang propesional dapat berjalan dengan efektif dan efesien. Para penyelenggara pendidikan di Indonesia sampai saat ini belum profesional. (Pidarta. 2006: 288).
Hal ini dapat dimaklumi sebab hampir semua penyelenggara pendidikan jalur sekolah direkrut dari para pendidik yang berpengalaman dan sukses. Sebagai pendidik sangat mungkin mereka sudah profesional, tetapi sebagai penyelenggara pendidikan haruslah seorang profesional di bidang itu, malah harus lebih profesional dari pada para pendidik, sebab peranan penyelenggara pendidikan lebih besar dibandingkan dengan peranan para pendidik dalam mensukseskan pendidikan.
Manajemen pendidikan tidak sama dengan manajemen pemerintahan, apa lagi manajemen bisnis yang mementingkan keuntungan uang. Manajemen pendidikan adalah menangani individu-individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang berkembang dan bertumbuh. Bantuan dan kesempatan berkembang ke arah positif inilah yang harus dicapai oleh manajemen pendidikan. Manajemen ini membutuhkan banyak variasi, kreasi, dan kiat yang hanya diperoleh melalui pendidikan formal dan sejumlah pengalaman lapangan. Sebab manajemen ini bermuara pada keberhasilan proses pendidikan.
Gerak dan dinamika penyelenggara pendidikan hampir sama dengan gerak dan dinamika manajer perusahan, tidak sama dengan kepala kantor dalam bidang pemerintahan. Sama halnya dengan kepala perusahaan, penyelenggra pendidikan adalah pemimpin lembaga pendidikan, yang bertanggung jawab terhadap hidup dan majunya lembaga yang ia pimpin.

BAB III
PENUTUP
3.1.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan, maka berikut ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Kesejahteran guru sebagai orang yang seharusnya dihormati, tingkat kesejahteraannya sampai saat ini masih sangat memprihatinkan, sehingga pahlawan tanpa tanda jasa masih harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
2.      Kualitas dan kuantitas guru saat ini, merupakan hal yang dilematis, secara objektif jumlah guru saat ini memang kurang memadai,
3.      Guru wajib memiliki kompetensi terintegrasi yang tertampilkan dalam melakonkan pembelajaran yang mendidik, yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profsional, dan kompetensi sosial.
4.      Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah, termasuk didalamnya desentralisasi pendidikan, yang meliputi pembangunan masyarakat demokrasi, pengembangan social capital, dan peningkatan daya saing bangsa, penyelenggaraan pendidikan yang profesional.
3.2. Saran
Pemerintah seharusnya mengkaji ulang dan mencermati tentang pemerataan guru agar terjadi pemerataan dalam dunia pendidikan, baik pusat maupun daerah dan juga memperhatikan kesejahteraan guru, tidak hanya sebagai kebijakan yang tanpa pelaksanaan, tetapi benar-benar di laksanakan, di monitoring, dan di evaluasi pelaksanaannya.
 
DAFTAR PUSTAKA
Azahari, Azril. Dampak Globalisasi di Pendidikan Tinggi untuk Mengantisipasi Tahun 2020. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Tahun ke 6 No. 023, Mei 2000, halaman 78-89.

Salam, Burhanuddin. 1997. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta: Rineka Cipta.

Made Pidarta. 2006. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Muchlis Samani, dkk. 2006. Mengenal Sertifikasi Guru di Indonesia. Indonesia: Asosiasi Peneliti Pendidikan Indonesia

Sam M. Chan dan Tuti T. Sam. 2013. Analisis Swot : Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sardiman A. M. 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tilaar, H. A. R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta
                      . 2001. Manajemen Pendidikan Nasional : Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Undang-Undang No 22 Thaun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah

KEBIJAKAN TENTANG KUALITAS DAN KUANTITAS GURU DI ERA GLOBALISASI


Oleh : Arifa Rakhman
Pasca Sarjana UNIGA MALANG (2014)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Menurut Undang Undang nomor 20 tahun 2003 dikatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Artinya secara implisit pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk membentuk peserta didik yang paripurna. Dalam Undang Undang tentang Sistem pendidikan Nasional ini juga dikatakan bahwa di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia pendidikan harus memenuhi kriteria minimal yakni memenuhi 8 Standar Nasional Pendidikan yang diatur lebih lanjut pada peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Kebijakan Menteri Pendidikan Nasional yang berani dan inovatif menghapus ebtanas secara bertahap dari SD hingga menyusul SMP/SMU, menunjukkan kemauan pemerintah (potical will) untuk memutus persoalan-persoalan filosofis dan teknik di seputar penyelenggaraan ebtanas dengan praktik-praktik penyelenggaraan yang menyeleweng dan berbiaya tinggi, serta untuk mengatasi berbagai kelemahan kualitas pendidikan dan peran sumber daya manusia lebih efektif.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah dengan dihapuskannya sistem evaluasi pendidikan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) kemudian di gantikan dengan UN (Ujian Nasional). Ujian Nasional (UN) merupakan program evaluasi yang berfungsi selektif, yaitu untuk memilih peserta didik yang sudah berhak meninggalkan sekolah. Ujian Nasional (UN) juga merupakan bentuk penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu.
Hasil ujian nasional yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan satuan pendidikan, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan (PP No 19 Tahun 2005 pasal 68).
Namun kenyataan yang terjadi dilapangan sungguh berbeda bahkan ironis. Pendidikan yang semula diharapkan menjadi bekal buat membangun masyarakat Indonesia baru yang tercerahkan justru sebaliknya menjadi cobaan yang justru membuat bangsa ini kian terpuruk. Sejalan dengan kenyataan itu, keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan. Begitu juga dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang pada dasarnya bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.
Apakah Ujian nasional (UN) yang dilaksanakan selama ini sudah memenuhi standar yang ada sesuai Prosedur Operasi Standar (POS) yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ? Sementara kita membaca dan melihat di media massa maupun media elektronik ketika UN dilaksanakan begitu banyak beredar kunci jawaban melalui SMS yang notabene tidak jelas darimana sumber kunci jawaban tersebut. Apakah pelaksanaan UN yang demikian mampu mengukur pencapaian kompetensi peserta didik yang sebenarnya ?
1.2.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat di identifikasi rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Mengapa EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) di hapuskan ?
2.      Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh UN (Ujian Nasional) ?
3.      Bagaimana mengatasi ketimpangan yang terjadi pada pelaksanaan UN terhadap tujuan pendidikan ?
1.3.       Tujuan

1.      Mengetahui penyebab EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) di hapuskan.
2.      Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh UN (Ujian Nasional).
3.      Mengetahui solusi mengatasi ketimpangan yang terjadi pada pelaksanaan UN terhadap tujuan pendidikan.


BAB II
KAJIAN TEORI
2.1.       Sejarah Evaluasi Pendidikan Secara Nasional di Indonesia
          Perkembangan evaluasi pendidikan secara nasional dari zaman ke zaman di Indonesia mengalami banyak metamorfosa. Telah beberapa kali diganti formatnya, seperti yang akan dibahas dibawah ini :
1.    Tahun 1965 – 1971
Sistem ujian di tahun ini dinamakan sebagai Ujian Negara. Hampir berlaku untuk semua mata pelajaran, semua jenjang yang ada di Indonesia, yang berada pada satu kebijakan pemerintah pusat.
2.    Tahun 1972-1979
Pada tahun ini, Ujian Negara ditiadakan, lalu di ubah menjadi Ujian sekolah. Sehingga, sekolahlah yang menyelenggarakan ujian sendiri. Semuanya diserahkan kepada sekolah, sedangkan pemerintah pusat hanya membuat kebijakan-kebijakan umum terkait dengan ujian yang akan dilaksanakan oleh pihak sekolah
3.    Tahun 1980 – 2000
Untuk mengendalikan, mengevaluasi, dan mengembangkan mutu pendidikan, Ujian sekolah diganti lagi menjadi Evaluasi Belajat Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Dalam EBTANAS ini, dikembangkan perangkat ujian paralalel untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Sedangkan yang menyelenggarakan dan monitoring soal dilaksanakan oleh daerah masing-masing.
4.    Tahun 2001 – 2004
EBTANAS diganti lagi menjadi Ujian Akhir Nasional (UNAS). Hal yang menonjol dalam peralihan dari EBTANAS  menjadi UNAS adalah  dalam penentuan kelulusan siswa, yaitu ketika masih menganut sistem Ebtanas kelulusan berdasarkan nilai 2 semester raport terakhir dan nilai EBTANAS murni, sedangkan dalam kelulusan UNAS ditentukan oleh mata pelajaran secara individual.
5.    Tahun 2005 – 2009
Terjadi perubahan sistem yaitu pada target wajib belajar pendidikan (SD/MI/SD-LB/MTs/SMP/SMP-LB/SMA/MA/SMK/SMA-LB) sehingga nilai kelulusan ada target minimal.
6.    Tahun 2010 – Sekarang
UNAS diganti menjadi Ujian Nasional (UN). Untuk UN tahun 2012, ada ujian susulan bagi siswa yang tidak lulus UN tahap pertama. Dengan target, siswa yang melaksanakan UN dapat mencapai nilai standar minimal UN sehingga mendapatkan lulusan UN dengan baik.
          Berikut adalah beberapa perubahan dari masa ke masa jati diri UN di Indonesia. Dibalik banyaknya perubahan, semua hal tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Karena UN sampai saat ini menjadi faktor yang menjadi tolak ukur keberhasilan dari suatu jenjang pendidikan, terlepas dari beberapa hal yang menjadi kekurangan dari sistem UN tersebut.
2.2. Kelemahan Evaluasi Belajar Tahap Nasional (EBTANAS)

Hal mendasar yang menjadi landasan pemikiran penggantian ebtanas dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah untuk menyempurnakan ebtanas dengan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang di temui dalam sistem ebtanas, baik dari segi akademis maupun segi teknis penyelenggaraan.  Disamping itu juga untuk menyempurnakan penilaian pendidikan yang lebih realistis untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Sistem penilaian pendidikan atau hasil belajar ebtanas selama ini mengandung banyak sekali kelemahan. Ebtanas telah mematikan kreativitas pendidikan. Soal-soal tes biasanya dijadikan acuan guru dalam pembelajaran kepada murid. Bahkan, guru akan menambah les-les tambahan untuk mengejar nilai ebtanas.
Dari segi akademis, sistem penilaian ebtanas memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut :
1.        Ebtanas tidak mampu mengukur pencapaian prestasi akademik secara komprehensif, tetapi hanya terdapat sejumlah tujuan instruksional tertentu.
2.        Pengujiannya hanya di lakukan secara temporal dan dalam waktu singkat.
3.        Hanya mampu mengumpulkan informasi yang terkait dengan kemampuan kognitif sementara yang non kognitif tidak dapat di evaluasi.
4.        Validitas dan reabilitas instrumen rendah ( seperti bidang PPKn)
5.        Banyak menimbulkan bias perlakuan terhadap skor.
6.        Banyak nuruting effect yang menyebabkan tereduksi proses, misalnya proses pembelajaran yang berorientasi pada ebtanas, persekolahan yang di dominasi oleh transfer of knowledge, dan tidak transfer of value, siswa hanya terajar bukan terdidik. Siswa hanya terlatih menghafal, tanpa memahami apalagi mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Siswa sebagai robot.
Selama ini sekolah dan para guru selalu melaksanakan penilaian seperti ulangan harian, ulangan akhir dan ebtanas, tetapi secara empiris perolehan nilai siswa tidak menggambarkan prestasi belajar anak sesungguhnya. Hasil belajar yang menggembirakan, ketika anak diukur denga soal-soal yang di kembangkan oleh sekolah, tetapi tidak ketika soal di koordinasi di tingkat kabupaten/kota. Perolehan nilai yang dicapai oleh siswa sangat tidak memuaskan, karena memang tidak mengukur sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Nilai siswa mencapai kebalikannya. Yang lebih mengecewakan lagi adalah ketika Nilai Ebtanas Murni (NEM) di gelar melalui daftar kolektif NEM (dakonem).
Menurut Sam & Tuti ada beberapa temuan tentang ebtanas sesuai dengan realitas yang ada, yaitu :
1.             Selalu saja terjadi kebocoran soal ebtanas, manipulasi koreksi yang di lakukan oleh oknum korektor ebtanas, serta daftar NEM yang tidak asli.
2.             Banyak terjadi penyimpangan dana ebtanas, terutama terjadi di sekolah-sekolah daerah.
3.             Campur tangan pemerintah pusat masih dominan.
4.             Orientasi sekolah hanya mengejar NEM
5.             Politisasi ebtanas menjadi alat untuk mengangkat sekolah-sekolah negeri agar terkesan berkualitas dengan menggunakan NEM sebagai seleksi masuk sekolah selanjutnya.

2.3.  Tujuan Penyelenggaraan Ujian Nasional
Ujian nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh pusat penilaian pendidikan dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang memiliki tugas dan tanggungjawab, diantaranya adalah melakukan sosialisasi penyelenggaraan UN, menetapkan kisi-kisi soal berdasarkan standar kompetensi lulusan (SKL), menyusun dan merakit soal, menjamin mutu soal, menyiapkan master naskah soal, melakukan penskoran hasil UN, mendistribusikan hasil UN ke provinsi, mengkoordinasikan kegiatan pemantauan UN, menganalisis data hasil UN, mengevaluasi dan melaporkan pelaksanaan UN kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun tujuan ujian nasional adalah menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
2.4.        Kelebihan dan Kelemahan Ujian Nasional
Ujian Nasional pertama kali diperkenalkan tahun ajaran 2002/2003 dengan istilah Ujian Akhir Nasional (UAN). Kemudian dari tahun ajaran 2004/2005 berubah menjadi Ujian Nasional (UN) hingga sekarang. Dari kurun waktu pelaksanaan yang sudah sekian tahun dapat dilihat apa kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan ujian nasional tersebut.
Adapun kelebihan yang diperoleh dengan dilaksanakannya ujian nasional antara lain :
a.         Dapat menggambarkan indikator kondisi pendidikan di Indonesia secara umum, artinya lembaga pendidikan internasional (UNESCO dll) dapat mengetahui kondisi pendidikan di Indonesia melalui UN.
b.         Dapat memacu sekolah, dinas pendidikan (propinsi dan kab/kota) untuk berkompetisi dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
c.         Dapat memotivasi guru untuk senantiasa meningkatkan kualitas pembelajaran, sehingga guru senantiasa meningkatkan kompetensinya untuk menuju guru yang profesional.
d.        Dapat memotivasi siswa untuk terus belajar sehingga mampu meraih nilai ujian nasional yang tinggi. Artinya disini dengan dilaksanakannya ujian nasional dapat membelajarkan siswa sehingga mampu berkembang secara optimal dalam mengembangkan potensinya.
Di samping kelebihan tersebut di atas, pelaksanaan ujian nasional juga banyak memiliki kelemahan antara lain :
a.         Pelaksanaan ujian nasional bertentangan dengan prinsip penilaian pada kurikulum yang berlaku dimana penilaian menekankan penilaian yang otentik (autentic assesment) yaitu penilaian saat proses pembelajaran berlangsung yang pelaksanaannya diserahkan kepada sekolah/ guru sesuai dengan kondisi sekolah yang ada.
b.        Adanya standar nilai ujian nasional yang sama di seluruh Indonesia, sementara kondisi sekolah baik sarana prasarana, guru, input siswa di setiap daerah terdapat perbedaan yang sangat signifikan.
c.         Dengan dilaksanakannya nilai ujian nasional sebagai salah satu syarat kelulusan akan menimbulkan kompetisi yang tidak sehat. Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan bahwa tingginya nilai ujian nasional di sekolah atau daerah masih dianggap sebagai gambaran kualitas pendidikan disekolah/ daerah tersebut.
d.        Adanya pemborosan anggaran biaya penyelenggaraan pendidikan, karena pelaksanaan ujian nasional menghabiskan dana yang tidak sedikit mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
e.         Ujian nasional merupakan penilaian yang sifatnya sesaat dan hanya menilai aspek kognitif saja, namun menentukan kelulusan. Hal ini bertentangan dengan penilaian berbasis kelas (PBK) yang menitikberatkan penilaian selama proses pembelajaran berlangsung.
2.5.        Pro Kontra Pelaksanaan Ujian Nasional
Dari kelebihan dan kelemahan tersebut di atas memicu munculnya pro-kontra dan protes terhadap pelaksanaan ujian nasional dari berbagai kalangan yang disebabkan oleh beberapa faktor :
Pertama, adanya perbedaan yang tinggi tentang mutu sekolah baik dalam satu daerah maupun antar daerah. Realitas di lapangan menunjukan mutu sekolah berbeda-beda, baik dari aspek siswa, guru, fasilitas, sumber dana, maupun manajemen. Dengan perbedaan ini tentu kurang bijaksana kalau diterapkan standar yang sama untuk persyaratan kelulusan. Seharusnya Depdiknas menetapkan standar kelulusan yang berbeda dengan memperhatikan kondisi riil daerah dan sekolah.
Kedua, hasil ujian nasional yang hanya menguji beberapa mata pelajaran dan hanya bersifat kognitif tidak serta merta dapat dijadikan indikator tentang mutu pendidikan. Kalangan yang menolak ujian nasional berpandangan bahwa untuk mengukur standar mutu pendidikan harus dilihat struktur pendidikan secara menyeluruh termasuk non-akademis, proses dan input pendidikan. Meningkatkan standar mutu pendidikan tentu tidak sesederhana hanya dengan meningkatkan angka standar kelulusan.
Ketiga, hasil ujian nasional selama ini tidak ada tindak lanjutnya. Para praktisi pendidikan, terutama guru selama ini kurang merasakan adanya manfaat nyata dari ujian nasional, terutama dalam hal peningkatan kualitas mengajar. Ujian nasional lebih sekedar kegiatan rutin tahunan. Seharusnya pasca ujian nasional dilakukan pelatihan intensif terhadap guru bidang studi yang siswanya banyak yang gagal dalam ujian nasional.
Keempat, ujian nasional di SMA/SMK kurang mempunyai relevansi dengan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. Siswa SMA yang dinyatakan lulus dengan nilai ujian nasiona yang tinggi tetap harus ikut seleksi untuk masuk ke Perguruan Tinggi. Sepertinya tidak ada koordinasi antara Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pendidikan Tinggi. Pihak Perguruan Tinggi sepertinya “tidak percaya” dengan hasil ujian nasional yang diselenggarakan manajemen pendidikan dasar dan menengah. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 68 dinyatakan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
2.6.   Ujian Nasional dan Mutu Pendidikan
Pro kontra seputar ujian nasional tidak seharusnya terjadi kalau semua pihak saling memahami dan menempatkan ujian nasioinal secara proporsional. Pihak pemerintah melalui Depdiknas harus merancang sistem ujian atau penilaian yang sistematis, bertahap dan berkelanjutan. Sistem penilaian harus dapat difungsikan untuk mendeteksi potensi dan kompetensi siswa sekaligus bisa memetakan kompetensi guru dalam keberhasilan pembelajaran di kelas.
Hasil ujian nasional juga harus ditindaklanjuti dengan berbagai program yang dapat meningkatkan mutu pendidikan secara komprehensif. Sistem penilaian ujian nasional harus mampu: memberi informasi yang akurat; mendorong siswa untuk belajar; memotivasi guru dalam pembelajaran; meningkatkan kinerja lembaga; dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan sistem penilaian yang demikian diharapkan secara berangsur-angsur mutu pendidikan di tanah air akan meningkat. Di lain pihak, para praktisi pendidikan di lapangan, terutama guru dan Kepala Sekolah harus meningkatkan kompetensi dan kinerjanya, sehingga kualitas pembelajaran di kelas akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian berapapun standar kelulusan yang akan ditetapkan pemerintah akan selalu siap, tanpa ada rasa takut dan kaget.
Di sisi lain pula para siswa dan orang tua juga akan tumbuh kesadaran bahwa untuk mencapai hasil yang memuaskan harus ditempuh dengan kerja keras, sehingga anggapan dalam ujian pasti lulus 100% hilang dari pikiran mereka. Kalau semua pihak sudah pada pemikiran, kesadaran, dan tindakan yang sama, maka mutu pendidikan di Indonesia perlahan-lahan namun pasti akan meningkat.

BAB III
PENUTUP
3.1.   Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan terhadap masalah-masalah evaluasi pendidikan di atas, dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut :
1.        Sistem penilaian pendidikan atau hasil belajar ebtanas selama ini mengandung banyak sekali kelemahan-kelemahan. Penilaian evaluasi tahap akhir tidak menunjukkan penilaian yang sebenarnya. Hasil penilaian yang di lakukan tidak relevan dengan kenyataan, karena banyaknya campur tangan berbagai kepentingan tidak semua daerah/kota siap terutama sumber daya manusianya.
2.        Ujian Nasional menimbulkan dampak positif dan negatif, dampak positifnya siswa lebih semangat lagi belajar untuk mendapatkan nilai yang baik. Siswa diajarkan untuk tidak curang, seperti menyontek karena pengawasan yang ketat dan pengawasnya pun bukan dari guru asal sekolah mereka. Menjadikan siswa untuk tidak bergantung pada guru. Dengan begitu murid akan mencari bimbel untuk persiapan UN  karena merasa di sekolah belum terlalu mengerti. UN akan menciptakan generasi-generasi bangsa kita yang berkompeten. Sedangkan negatifnya adalah siswa harus menyiapkan tenaga ekstra untuk mengikuti les atau bimbingan belajar. UN merupakan standar yang ditetapkan pemerintah untuk menentukan siswa berhak lulus atau tidak. Dengan adanya UN, pemerintah akan mengetahui tingkat pendidikan yang telah siswa jalani selama di sekolah. Akan tetapi, tingkat pendidikan setiap daerah di Indonesia tidaklah sama. Masih banyak daerah dengan tenaga pengajar yang tidak sesuai dengan jumlah yang diharapkan.
3.        Ujian nasional masih perlu dilaksanakan agar gambaran riil pendidikan di Indonesia dapat diketahui dan dapat memotivasi daerah/sekolah untuk senantiasa meningkatkan kualitas sehingga mencapai 8 Standar nasional pendidikan sesuai dengan PP nomor 19 tahun 2005. Namun yang perlu diperbaiki adalah pelaksanaannya sehingga UN yang dilaksanakan benar-benar dapat mencapai tujuan UN itu sendiri dan tujuan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
3.2.        Saran
Untuk mengefektifkan pelaksanaan ujian nasional, maka perlu dilakukan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Pemerintah memfasilitasi guru mata pelajaran yang diujikan untuk meningkatkan kompetensi mereka
2.      Pemerintah membuat konsep ujian nasional yang bukan hanya menitik beratkan pada ranah kognitif saja tetapi juga ranah afektif dan psikomotorik.
3.      Komponen sekolah, yaitu kepala sekolah, guru, staf tata usaha, peserta didik dan wali murid peserta didik bekerja sama dalam persiapan menghadapi ujian nasional.
4.      Nilai ujian nasional dapat dijadikan salah satu syarat kelulusan, namun perlu adanya grade (tingkatan) standar kelulusan di setiap daerah. Kelulusan bisa dikategorikan berdasarkan hasil akreditasi. Sekolah dengan akreditasi A memiliki standar kelulusan yang bebeda dengan sekolah dengan akreditasi B.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi. 1996. Dasar-Dasar Evalusi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Basarudin Chan. Ujian Nasional Untuk Apa ? http://edukasi.kompas.com di akses tanggal 30 September 2014.

Chan Sam. M. & Adi Tuti T. 2013. Analisis Swot : Kebijakan Pendidikan  Era Otonomi Daerah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Fajar Ibnu. Kontroversi Pelaksanaan Ujian Nasional Di Tinjau Dari Landasan Hukum Pendidikan. http://ibnufajar75.wordpress.com di akses tanggal 30 September 2014.

Seri Hukum dan Perundangan: Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Jakarta : SL Media.